Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

sebuah tanda kabung ( puisi tentang lingkungan)

Kaccia , 21 Oktober 2008 SEBUAH TANDA KABUNG UNTUK ZAMRUD HIJAU KHATULISTIWA   Khalifah persada negeri ini sepertinya tak pernah tahu Ia telah merangkai bunga duka untuk sang pertiwi Kelak .. Anak cucu negeri ini menjual karangan bunga yang bertuliskan “turut berduka cita atas perginya sang zamrud hijau khatulistiwa” Tak hanya sampai di situ..... Cicit negeri ini pun bakal mendulang emas Lewat “eksploitasi hijau” Sambil membawa rangkaian kalung bunga Bagi para pembabat hutan Yang tak jelek kalau ku juluki “pemahat nisan” bagi zamrud hijau khatulistiwa Mereka “sang hantu hutan” datang dari jiwa materialis Terbang bersayap putih membalut tubuhnya Laksana malaikat kecil pembawa kabar gembira Membisikkan materi ke telinga-telinga matre Membagikan berkah yang tak lain hanyalah   Kuncup huldi yang mulai merekah Hingga akhirnya di setiap sudut negeri ini Berorasikan “ hidup malaikat eksploitasi hijau!, hidup!” Lalu khalifah se

temaram senja

Mei 2004 Temaram Senja ( puisi ini kudedikasikan untuk ibuku tercinta yang meninggal di bulan mei 2004, ku tulis sajak ini di hari ia meninggalkan kami sekeluarga untuk selamanya, buat ibu,,, aku belum mampu berbuat banyak dalam kebaikan,,,, tapi aku berjanji akan menjadi manusia yang lebih baik dan berguna dunia akhirat untuk diriku, keluarga dan bangsaku,,,, amin ya robbal alamin ) Suatu temaram senja Yang mengharubirukan Menggeliatkan sejuta gelora Menepikan segala kehangatan Suatu temaram senja Yang menyimpan suka dan duka Merenungkan segala kebatilan jiwa Mendendangkan suatu tembang pilu Suatu temaram senja Yang memekik di tengah kedamaian Menghempas badai di angkasa Suatu temaram senja Yang mengharubirukan yang menyimpan suka dan duka yang memekik di tengah kedamaian suatu temaram senja suatu elegi umat manusia suatu rahasia yang maha ghaib yang terungkap lewat suatu temaram senja

sukmaku di tanah makassar

SUKMAKU DI TANAH MAKASSAR (oleh: Asia Ramli Prapanca) Sukmaku di Tanah Makassar (pelan) Negeri bayang-bayang (meninggi) Negeri timur matahari terbit Gunung-gunung perkasa (biasa) Lembah-lembah mengangah Pohon-pohon purba Kuburan-kuburan tua (turun) Di dalam kelambu penuh dupa (pelan) Berhadap-hadaplah dengan dewata (meninggi) Dengan berlapis – lapis pakaian sutera (biasa) Musik dan tari saling berlaga (turun) Sukmaku di Tanah Makassar (penekanan) Memburu anoa di rimba belantara (satu napas) Menangkap kupu-kupu di tebing-tebing terjal Mengejar derai-derai daunan basah Memanjat pohon-pohon lontar Di bawah naungannya Bertempat gelanggang Sabungan ayam Di belakang sekian gumam sinrilik Siap membunuh kekecewaan dengan badik dan badik dan tukul besi Sukmaku di Tanah Makassar (biasa) Bersayap angin mammiri bersiul membelai kota (biasa) Dengan nilai – nilai Menunggang kuda jantan dengan lari kencang (penekanan) Membawa impian

Inikah arti merdeka?

Merah putih ku kini berkibar tanpa jiwa Tak seperti dulu lagi semangatnya Kini ia hanyalah hiasan dua warna yang diikat Pada tali di setiap ujung tiang besi Di tengah lapangan pemerintahan dan sekolah-sekolah Berkibar tanpa makna lagi Bukan karena warnanya yang memudar Tapi jiwa nasionalisme bangsa ini yang tenggelam kapitalisme Kini ia hanyalah hiasan dua warna yang diikat pada tali di setiap ujung tiang bambu dipasang di tiap – tiap gapura depan rumah di hari pertama bulan jatuhnya bangsa ini diproklamirkan oleh sang putra matahari lupakah kita kan masa itu? Kini ia hanyalah simbol kemenangan di masa lalu Tegakah kita para pemangku jabatan negeri Menggadai janji nasionalisme dengan bisikan kapitalisme? Kita sesungguhnya belumlah merdeka Sebab kemerdekaan itu hanyalah milik mereka Yang berjuang dan ikhlas untuk orang lain Kita adalah pekerja rodi yang di tengah perjalanan dipaksa berhenti sejenak untuk hormat pada sang empunya hajatan

Inikah arti merdeka?

Merah putih ku kini berkibar tanpa jiwa Tak seperti dulu lagi semangatnya Kini ia hanyalah hiasan dua warna yang diikat Pada tali di setiap ujung tiang besi Di tengah lapangan pemerintahan dan sekolah-sekolah Berkibar tanpa makna lagi Bukan karena warnanya yang memudar Tapi jiwa nasionalisme bangsa ini yang tenggelam kapitalisme Kini ia hanyalah hiasan dua warna yang diikat pada tali di setiap ujung tiang bambu dipasang di tiap – tiap gapura depan rumah di hari pertama bulan jatuhnya bangsa ini diproklamirkan oleh sang putra matahari lupakah kita kan masa itu? Kini ia hanyalah simbol kemenangan di masa lalu Tegakah kita para pemangku jabatan negeri Menggadai janji nasionalisme dengan bisikan kapitalisme? Kita sesungguhnya belumlah merdeka Sebab kemerdekaan itu hanyalah milik mereka Yang berjuang dan ikhlas untuk orang lain Kita adalah pekerja rodi yang di tengah perjalanan dipaksa berhenti sejenak untuk hormat pada sang empunya hajatan

Yuk!, Ke Belanda.

Yuk!, Ke Belanda. Entah mengapa, jari-jariku tak ku sadari bergerak untuk mengetik kata yang membuat artikel tentang kompetisi menulis ini muncul di layar laptopku. Rencananya sih, Aku cuma iseng saja mencari artikel tentang hal – hal berbau menulis serta cara mengirim naskah tulisan terutama puisi, tapi ternyata setelah omm google memperlihatkanku bagian ini, Aku langsung saja mengklik dan muncullah artikel tentang ” Dibuka…. Kompetisi Menulis Berhadiah ke Belanda ” . Aku tanpa berpikir panjang langsung mengunduh halaman tersebut, ku baca tiap baris dari artikel tersebut, ku pahami baik-baik apa isinya dan ku simpulkan dengan cepat bahwa Aku ingin berpartisipasi dalam ajang ini. Bagiku masih buta dengan tulisan yang termasuk artikel yang bagus untuk disertakan dalam ajang menulis seperti ini, namun yang terpenting adalah niatku untuk ikut serta dan Aku memang orang yang sungguh penuh rasa percaya diri, mungkin karena pengaruh dari sekian banyak buku motivasi yang   pernah Aku