Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2012

sukmaku di tanah makassar

SUKMAKU DI TANAH MAKASSAR (oleh: Asia Ramli Prapanca) Sukmaku di Tanah Makassar (pelan) Negeri bayang-bayang (meninggi) Negeri timur matahari terbit Gunung-gunung perkasa (biasa) Lembah-lembah mengangah Pohon-pohon purba Kuburan-kuburan tua (turun) Di dalam kelambu penuh dupa (pelan) Berhadap-hadaplah dengan dewata (meninggi) Dengan berlapis – lapis pakaian sutera (biasa) Musik dan tari saling berlaga (turun) Sukmaku di Tanah Makassar (penekanan) Memburu anoa di rimba belantara (satu napas) Menangkap kupu-kupu di tebing-tebing terjal Mengejar derai-derai daunan basah Memanjat pohon-pohon lontar Di bawah naungannya Bertempat gelanggang Sabungan ayam Di belakang sekian gumam sinrilik Siap membunuh kekecewaan dengan badik dan badik dan tukul besi Sukmaku di Tanah Makassar (biasa) Bersayap angin mammiri bersiul membelai kota (biasa) Dengan nilai – nilai Menunggang kuda jantan dengan lari kencang (penekanan) Membawa impian

Inikah arti merdeka?

Merah putih ku kini berkibar tanpa jiwa Tak seperti dulu lagi semangatnya Kini ia hanyalah hiasan dua warna yang diikat Pada tali di setiap ujung tiang besi Di tengah lapangan pemerintahan dan sekolah-sekolah Berkibar tanpa makna lagi Bukan karena warnanya yang memudar Tapi jiwa nasionalisme bangsa ini yang tenggelam kapitalisme Kini ia hanyalah hiasan dua warna yang diikat pada tali di setiap ujung tiang bambu dipasang di tiap – tiap gapura depan rumah di hari pertama bulan jatuhnya bangsa ini diproklamirkan oleh sang putra matahari lupakah kita kan masa itu? Kini ia hanyalah simbol kemenangan di masa lalu Tegakah kita para pemangku jabatan negeri Menggadai janji nasionalisme dengan bisikan kapitalisme? Kita sesungguhnya belumlah merdeka Sebab kemerdekaan itu hanyalah milik mereka Yang berjuang dan ikhlas untuk orang lain Kita adalah pekerja rodi yang di tengah perjalanan dipaksa berhenti sejenak untuk hormat pada sang empunya hajatan

Inikah arti merdeka?

Merah putih ku kini berkibar tanpa jiwa Tak seperti dulu lagi semangatnya Kini ia hanyalah hiasan dua warna yang diikat Pada tali di setiap ujung tiang besi Di tengah lapangan pemerintahan dan sekolah-sekolah Berkibar tanpa makna lagi Bukan karena warnanya yang memudar Tapi jiwa nasionalisme bangsa ini yang tenggelam kapitalisme Kini ia hanyalah hiasan dua warna yang diikat pada tali di setiap ujung tiang bambu dipasang di tiap – tiap gapura depan rumah di hari pertama bulan jatuhnya bangsa ini diproklamirkan oleh sang putra matahari lupakah kita kan masa itu? Kini ia hanyalah simbol kemenangan di masa lalu Tegakah kita para pemangku jabatan negeri Menggadai janji nasionalisme dengan bisikan kapitalisme? Kita sesungguhnya belumlah merdeka Sebab kemerdekaan itu hanyalah milik mereka Yang berjuang dan ikhlas untuk orang lain Kita adalah pekerja rodi yang di tengah perjalanan dipaksa berhenti sejenak untuk hormat pada sang empunya hajatan