Pak Munif!?.... begitulah saya memanggil nama seorang bapak setengah baya yang lewat di dekatku. entah mengapa saya spontan memanggil nama itu padahal saya belum pernah bertemu sebelumya, mungkin inilah insting dari salah satu kecerdasanku menebak ( itu termasuk jenis kecerdasan apa yah Pak Munif?, yang jelas jangan bilang saya berbakat jadi fortune teller, hehehe), namun sejenak pun berbalik ke arahku setelah nama itu ku lontarkan sambil membalasku dengan senyum yan sangat hangat. pertemuan dengan beliau sungguh sangat mengesankan ( seminar tanggal 29 September 2012, di Gedung Graha Pena lantai 19). saya tidak pernah menyangka hal itu akan terwujud secepat itu, hanya berselang 2 Minggu setelah saya membaca buku beliau yang berjudul " gurunya manusia", saya pun langsung jatuh hati untuk ingin tahu lebih banyak mengenai penulisnya. buku tersebut saya dapatkan dari seorang teman mahasiswa angkatan junior, sebut saja namanya " Heri", dialah yang pertama kali menawarkanku buku tersebut, katanya, " kak dahlan, mauki baca- baca buku pendidikan, baguski kak, judulnya " gurunya manusia". ", sejenak saya berpikir , itu buku apaan?, kok judulnya seperti itu?,,,, tapi aku pun tak ingin mengecewakan tawarannya, langsung saja saya jawab ", sini mi itu buku yang kamu bilang, saya kebetulan ada waktu luang untuk membacanya". dua hari berlalu , buku itu telah ku lahap habis, aku membacanya sungguh terkesima, apalagi di dalamnya saya temukan salah satu tokoh pendidikan favoritku, sang pencetus ide INDONESIA MENGAJAR, Bapak DR. Anies Baswedan, di buku itu beliau menuliskan sebuah kata sambutan yang sungguh membuat saya merasa berpikir lebih dalam tentang makna kata tersebut " STOP CURSING DARKNESS, LETS LIGHT MORE AND MORE CANDLES". kembali ke pertemuanku dengan beliau, aku pun sangat menikmati itu, beliau sungguh sosok yang rendah hati sebagai penulis bestseller, saya tambah kagum mendengarkan cerita beliau yang dengan optimis akan pendidikan Indonesia di masa depan ketika guru-guru di negeri ini mampu " mengajar dengan hati". dalam seminar tersebut saya melhat, ketidakantusiasan peserta untuk bertanya disebabkan karena hampir 90% dari peserta tersebut tidak atau belum tahu siapa sebenarnya beliau. saya terharu ketika beliau bercerita tentang bagaimana pendidikan di negeri kita yang belum terarah dalam mengarahkan bakat anak didik kita. sangat banyak hal yang ingin direvisi dari kurikulum pendidikan negeri kaya raya ini. sebagai contoh, di Indonesia, materi tentang otonomi daerah ( otoda) diajarkan di bangku SD, padahal di negara maju seperti Amerika Serikat materi ini diajarkan di jenjang perguruan tinggi, ini sama halnya dengan "memberikan makan biji jagung kepada anak ayam yang baru saja menetas" seberapa pun kuat dan gigihnya anak ayam tersebut untuk menelan biji jagung itu, pasti tidak akan pernah bisa, sehingga ia akan trauma ketika melihat biji jagung itu . sama halnya dengan anak SD yang diberikan pelajaran yang tidak sesuai dengan bakat dan keinginannya, maka anak akan jenuh dalam proses tersebut. wahh pokoknya sehari bertemu pak Munif Chatib membuat saya lebih sadar dan introspeksi diri dengan keadaan saya dan cara guru-gur di tempat saya mengajar dalam memandang sosok anak itu seperti apa dan layaknya harus bagaimana.
SUKMAKU DI TANAH MAKASSAR (oleh: Asia Ramli Prapanca) Sukmaku di Tanah Makassar (pelan) Negeri bayang-bayang (meninggi) Negeri timur matahari terbit Gunung-gunung perkasa (biasa) Lembah-lembah mengangah Pohon-pohon purba Kuburan-kuburan tua (turun) Di dalam kelambu penuh dupa (pelan) Berhadap-hadaplah dengan dewata (meninggi) Dengan berlapis – lapis pakaian sutera (biasa) Musik dan tari saling berlaga (turun) Sukmaku di Tanah Makassar (penekanan) Memburu anoa di rimba belantara (satu napas) Menangkap kupu-kupu di tebing-tebing terjal Mengejar derai-derai daunan basah Memanjat pohon-pohon lontar Di bawah naungannya Bertempat gelanggang Sabungan ayam Di belakang sekian gumam sinrilik Siap membunuh kekecewaan dengan badik dan badik dan tukul besi Sukmaku di Tanah Makassar (biasa) Bersayap angin mammiri bersiul membelai kota (biasa) Dengan nilai – nilai Menunggang kuda jantan dengan lari kencang (penekanan) Membawa impian
Komentar